Jurus 'ngepret' Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli sedang banyak disorot dan memicu kegaduhan.Kabinet yang gaduh adalah hal yang paling tidak kita butuhkan,
terutama di saat perekonomian
sedang penuh gejolak. Sayangnya, itulah
yang sedang terjadi kini. Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli,
lagi-lagi, memicu kebingungan publik. Dia menggebrak ke sana-sini
menebar komentar pedas, tetapi kerap tidak tepat sasaran. Seperti dewa
yang sedang mabuk.
Sejak dilantik menggantikan Indroyono Soesilo, Agustus lalu, Menteri
Rizal rajin menebar gelombang panas. Rizal mengkritik pembelian pesawat
PT Garuda Indonesia, menyebut pengadaan listrik 35 ribu megawatt sebagai
proyek mustahil, dan mengecam harga listrik prabayar. Yang paling
fenomenal adalah silang pendapatnya dengan Direktur Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) II R.J. Lino. Tanpa pemberitahuan, Menteri Rizal mendatangi
kawasan Pelindo, dan secara demonstratif mengebor beton penghalang jalur
kereta api ke pelabuhan.
Pak Menteri berdalih, komentar panasnya adalah penanda keterbukaan
informasi yang disukai investor. Agaknya dia lupa ada jurang lebar
antara keterbukaan dan kekacauan. Sudah tentu, kekacauan informasi
dengan mudah membuat publik, terutama investor, mencium situasi yang
tidak solid di pemerintahan.
Pak Menteri belum juga berhenti memantik kegaduhan. Kali ini dia
menyerang Pertamina yang akan membangun gudang timbun minyak di seluruh
Indonesia, senilai US 2,4 miliar. Padahal, gudang ini dibangun atas
permintaan Presiden Joko Widodo yang menginginkan daya tampung
persediaan minyak naik dari 20 hari menjadi 30 hari. Namun, menurut
Rizal, seharusnya yang membangun gudang timbun itu adalah pemasok minyak
dan bukan Pertamina.
Seperti telah diulas majalah Tempo, 30 Agustus 2015, tak semua
pernyataan Rizal keliru. Proyek listrik 35 ribu megawatt, misalnya,
memang kelewat ambisius. Pemerintah harus lebih realistis, terutama
karena hingga kini belum ada terobosan yang berarti di bidang
kelistrikan. Pada kasus PT Garuda, efektivitas pembelian pesawat
berbadan besar juga layak dipertanyakan kembali.
Namun, kritik Rizal juga tak selalu valid. Pada kasus pulsa listrik
prabayar, misalnya, Rizal secara simplistik menyamakan rupiah yang
dibayar dengan daya listrik yang didapat konsumen. Padahal, dalam sistem
prabayar, pelanggan diuntungkan bisa membeli pulsa pecahan kecil dengan
konsekuensi ada biaya administrasi tambahan. Belakangan, Menteri Rizal
meminta maaf dan mengoreksi pernyataannya.
Gebrakan badai Rizal Ramli ini membikin kita bertanya-tanya. Mungkin
Pak Menteri belum sepenuhnya sadar bahwa dia sekarang bukan lagi seorang
aktivis yang berdiri di luar gelanggang? Dia ada di dalam barisan
pemerintah. Tidak sepatutnya dia menembak sejawatnya sendiri. Jalur
kereta api yang terhalang area pelabuhan, misalnya, semestinya bisa
dirundingkan secara elegan. Seorang menteri jelas bukan orang awam yang
tanpa otoritas, dan sebaiknya wewenang itu digunakan dengan lebih
strategis.
Rizal perlu diingatkan bahwa reshuffle, yang mengantarnya pada kursi
menteri, bertujuan membuat kabinet yang lebih solid dan efisien. Seperti
kapal di tengah samudera, nahkoda dan awak kapal seharusnya seirama
jika tak mau kapal terombang-ambing di tengah ancaman badai krisis
perekonomian global. ***(http://indonesiana.tempo.co)
Topan Badai Bernama Rizal Ramli
- By rairedha
- 20.27
- 0 comments
Tagged
Written by Lovely
Aenean quis feugiat elit. Quisque ultricies sollicitudin ante ut venenatis. Nulla dapibus placerat faucibus. Aenean quis leo non neque ultrices scelerisque. Nullam nec vulputate velit. Etiam fermentum turpis at magna tristique interdum.
Tidak ada komentar :